“Gue selalu suka dengan balerina,” ucapan lelaki itu masih terus terngiang di dalam kepalaku.
Malam itu, pada acara drama musikal balet Swan Lake yang sedang diadakan di kampusku, aku melihatnya. Sosok lelaki yang sudah kudambakan sejak beberapa bulan lalu. Aku mendengarkan perkataannya dengan seksama, “Gue suka dengan balerina.”
Pada saat itu, satu hal yang terpikirkan olehku adalah, aku harus bisa menjadi ballerina dan menarik perhatiannya. Aku ingin menjadi sosok yang disukai oleh lelaki itu, Ken.
####
Aku tiba di tempat pelatihan balet 15 menit lebih cepat dari jadwal seharusnya. Akhirnya waktu kosong itu ku gunakan untuk sekedar melihat-lihat keadaan di tempat itu.
Cermin-cermin raksasa ditempelkan di dinding dengan gagahnya dan merefleksikan bayangan diriku dalam baju latihan baletku. Beberapa arm-bar ditempel di sekitar aula tersebut sebagai alat bantu latihan nanti, well... hanya tebakanku sih. Disana aku juga melihat beberapa pigura ditempelkan ke dinding yang menampilkan sosok-sosok balerina dalam balutan gaun anggunnya Aku benar-benar merasa berada di tempat yang sangat asing kali ini.
“Sore semua!” tidak lama kemudian satu sosok pria dewasa dengan perawakan tegap dan tinggi, serta dilengkapi dengan wajah yang lumayan tampan, melangkah memasuki aula tempat latihan tersebut sambil menyapa dengan santainya. “Okay, class! Selama beberapa bulan ke depan, kalian semua akan bertemu dengan saya sebagai pelatih kalian disini. Sounds good?” Pria itu berbicara fasih dalam bahasa Inggris, sepertinya dia memang memiliki keturunan darah barat sana.
“Yeaaah!” Semua wanita yang ada di aula membalas dengan antusias.
“Oke, mari kita mulai!”
####
Aku melangkah terseok menuju kampus keesokan harinya. Badanku remuk sekali rasanya. Latihan balet di hari pertama kemarin benar-benar menghancurkan semua tulang yang ada di tubuhku. Masih dengan wajah meringis menahan rasa sakit, tiba-tiba saja aku melihat satu sosok yang mampu membuat segala jenis nyeri di tubuhku hilang dalam sekejap. Refleks, aku menghentikan langkahku dan memandangi sosok dihadapanku itu.
“Sori, lo mahasiswi akuntansi, bukan?” Ken tiba-tiba mulai berbicara padaku.
“Gu... gue? Iya,” jawabku gugup sambil berusaha meredakan dentuman jantungku yang sudah melampaui batas kecepatan maksimal. “Kenapa?”
“Bisa tolong anterin gue ketemu Pak Irawan?” ucapnya lagi, kali ini dengan menyebutkan salah satu dosen yang memang sudah sangat ku kenal sebagai dosen pengajarku.”Lo kenal?”
“Oh, iya.. kenal. Mau ketemu dia?”
“Iya, bisa tolong anter gue?” ucapnya lagi dengan sebuah senyum manis tersungging di wajah tampannya kali ini.
“Mmm.. ayo ikut gue,” balasku langsung membalikkan badan dan melangkah mendahuluinya, tidak tahan menatapnya lama-lama, apalagi dengan senyuman manis itu tersungging di wajahnya.
“Thanks! Gue Ken!” ucapnya berusaha memecah keheningan yang ada.
Udah tau koooook! Ucapku dalam hati. “Gue... Finka!”, aku pun berusaha mengeluarkan suara.
Setelah perkenalan singkat itu, hanya kesunyian yang ada di antara aku dan Ken. Aku sibuk berusaha meredam kecepatan detak jantungku yang diluar batas normal saat ini hingga tidak bisa bersuara. Namun akhirnya, aku berusaha memanfaatkan kesempatan ini, “Ada apa cari Pak Irawan?”
“Lagi ada urusan aja sama dia. Pengen minta advice dia tentang scholarship. Gue denger dia tuh advisor yang bagus soal itu ya? Bener gak sih?”
“Begitu sih gosipnya,” balasku singkat, tidak bisa menemukan kata lain yang lebih pas. Damn.
“Pernah coba?” tanya Ken kali ini sambil menatap ku.
“Ha? Nope! Belum,” jawabku agak kaget saat melihat dia menatap ku dengan kedua mata tajamnya itu.
Ken pun hanya membalas dengan anggukan ringan tanda dia mengerti.
“Ini ruangannya,” aku pun sampai di depan ruangan berpintu kayu dengan nama Pak Irawan tertera didepannya. “Mmm.. kalau gitu, gue duluan ya!”
“Thanks ya!” balas Ken kali ini memberikan senyum manisnya lagi.
Aku pun segera beranjak dari tempat itu, takut nantinya aku akan melakukan suatu kebodohan selama berada di dekatnya. Hah! Hari ini benar-benar penuh kejutan!
####
“Kamu, kenapa ingin belajar balet?” Mr. Andrew tiba-tiba mengarahkan pertanyaannya padaku.
Hari ini di kelas balet, seluruh learner diajak untuk sharing mengenai kecintaannya pada balet, dan kini tibalah waktunya aku untuk membagikan alasanku mengikuti kelas balet ini. Astaga! Ini semua hanya karena seorang lelaki yang sudah ku sukai sejak beberapa bulan lalu! Hanya itu! Rasanya ingin sekali aku meneriakkan kata-kata itu dari mulutku, namun yang keluar malah, “Balet itu indah. Saya suka!”
“Begitukah?” Mr.Andrew mencoba memastikan. “Hanya itu?”
Aku menjawab dengan satu anggukan ringan. Benar-benar bodoh, Finka!
####
Aku tidak masuk kuliah esok harinya. Seluruh badanku benar-benar terasa remuk redam. Aku hanya bisa terbaring lemah di kamar dengan berbagai macam obat pereda nyeri otot yang ku beli di apotek.
“Ya kamu lagian salah sendiri, tiba-tiba mau ikutan balet,” mama berkomentar acuh saat melihatku mengerang kesakitan. “Tuh ada Sania dateng,” ucap mama sambil menyebutkan salah satu teman kuliahku.
“Suruh kesini aja ma.”
Tidak lama, satu sosok cewek datang menghampiriku. Sania.
“Ampun, Fin! Lo bener-bener ikut balet??? Astaga!”
Aku hanya bisa mengangguk sambil nyengir. “Ya lo kan tau... soal Ken.”
“Iya sih, cuma nggak harus sampai kayak gini lah,” balasnya. “Anyway, tadi gue liat Ken bareng Pak Irawan loh! Ngapain ya anak itu? Secara dia mahasiswa teknik, kenapa jadi nyasar ke kawasan ekonomi coba?”
“Lagi?” tanyaku refleks.
“Iya. Eh? Emang udah pernah lo ngeliat dia sama Pak Irawan?”
“Kemarin. Gue yang anter dia ketemu Pak Irawan. Kira-kira ada urusan apa ya?”
“Tadi gue sempet denger omongannya mereka, kayaknya sih ngomongin tentang beasiswa ke Jerman gitu. Apa mungkin Ken dapat beasiswa kesana ya?” Sania bertanya-tanya santai, tidak menyadari teman dihadapannya sudah harap-harap cemas.
“Yah jangan dong! Ntar dia pindah dari Indonesia lagi!” ucapku terlalu bersemangat hingga tidak menyadari nyeri di sekujur tubuhku yang menyerang.
“Ya iyalah pindah, beasiswa juga namanya! Nanti deh coba gue cari tau ya.”
Ken... pindah? Duh, membayangkannya saja aku sudah tidak berminat. Bagaimana mungkin takdir tega padaku disaat seperti ini??? Oh Please...
####
Dengan langkah malas aku kembali ke kampus pada hari berikutnya. Belum ada sepuluh meter aku memasuki kawasan kampus, tiba-tiba saja Sania sudah menghampiriku dengan terburu-buru.
“Fin... itu... si Ken...” Sania berusaha berbicara sambil mencoba mengatur napasnya yang terengah-engah.
“Kenapa, San?” tanyaku bingung.
“Ken.... dia beneran akan pindah ke Jerman!” ucap Sania yang terasa seperti sebuah hantaman besar bagiku.
“Beneran San??? Lo tau darimana?”
“Tadi iseng gue tanya ke Pak Irawan pas papasan dan Ken ketemu dia emang mau minta pendapat tentang beasiswa ke Jerman itu.”
Aku langsung merasa seluruh nyeri yang menyerang tubuhku jadi berlipat ganda saat mendengar berita dari Sania. Ken pindah? Aku bahkan tidak pernah memikirkan tentang hal ini sebelumnya. Ironis.
“Fin? Lo nggak apa-apa kan?” tanya Sania kebingungan saat melihatku hanya terdiam di tempatku berdiri.
“Nggak kok, nggak apa-apa. Gue pergi dulu ya,” jawabku berusaha menutupi rasa sedihku dari cewek dihapanku ini dan langsung beranjak pergi.
####
“Finka! Your leg!” bentakan Mr. Andrew kembali membawaku ke alam nyata. “What’s wrong??? Kamu keliatan gak oke hari ini.”
“Maaf, Sir. Boleh saya minta istirahat sejenak?”
“Ya ya, istirahat dulu saja. You look awful.”
Aku pun menyingkir dari aula dan menuju ruang tunggu. Disana aku termenung sendiri dan memikirkan segala yang telah ku lakukan. Bodoh sekali, Finka! Super bodoh!
“Finka, are you okay?” Mr. Andrew tiba-tiba memasuki ruangan dan duduk di sebelahku.
“Maaf saya telah berbohong kemarin, Sir.”
“Berbohong? Tentang apa?”
“Saya belajar balet bukan karena saya menyukainya, namun karena ada orang lain yang menyukainya,” jelasku.
“Begitu? This is about a guy I guess. Am I right?” Mr. Andrew menebak dengan tepat sekali.
“Maaf, Sir.”
“No prob, dear. Lalu sekarang apa masalahnya? Wanna share?”
“He’s going abroad soon and I feel like a donkey right now,” ucapku merasa sebal pada diriku sendiri.
“Nope. You’re not. Begini dear, seseorang mungkin terpaksa melakukan sesuatu karena suatu hal lainnya, bisa karena benda hidup atau tidak. Yang harus kau lakukan saat ini hanyalah buktikan kalau meskipun kau melakukan ini demi seseorang, meskipun sebenarnya kau tidak menginginkan ini, tetap lakukanlah yang terbaik. Jangan buat orang lain berpikir kalau kau hanya sekedar pengikut. Buat dirimu sebagai expert dalam bidang itu. If you feel you are a donkey, then others will also think about you that way. Just do the best now! I’ll help you! You want to impress that special guy, right? Prove it! Make it real!”
“Menurutmu begitu, Sir?”
“Tentu saja! Suatu saat nanti, begitu dia kembali, tunjukkan keahlianmu di bidang balet, I bet he will love it!” ucap Mr. Andrew berusaha memotivasiku kembali.
“Thanks a lot, sir!” balasku dengan sebuah senyum kecil tersungging diwajahku.
Ken, I’ll impress you soon! Just wait and watch!
####
Pertunjukkan akan segera dimulai dan aku benar-benar merasakan sensai nerveous yang berlebihan saat ini. Tanganku berkeringat dingin dan jantungku berdetak dengan kecepatan maksimal. Astaga! Tiga tahun lalu akulah yang duduk di kursi penonton, namun kini, akulah yang wajib menghibur para penonton tersebut.
Di kejauhan aku melihat sosok Sania melambai memberikan semangat sambil menunjuk-nunjuk ke satu arah berlawanan. Aku pun mengikuti arahannya dan sampailah penglihatanku pada satu sosok itu. Sosok yang sudah berhasil membuatku meraih semua ini. Sosok yang sudah menghilang selama tiga tahun ini, namun masih tetap hadir dalam pikiranku sebagai motivatorku. Ken.
Aku tersenyum ke arah Sania dan mengacungkan dua ibu jariku, pertanda aku akan berusaha melakukan yang terbaik.
####
Musik lembut itu mengalun. Dengan langkah anggun aku memasuki panggung dan menhentakkan kaki ku sesuai irama lembutnya. Aku berusaha fokus. Berusaha tidak memikirkan bahwa sosok yang sudah ku tunggu sejak tiga tahun lalu sudah hadir disini, tepat di bangku penonton, menontonku.
Berputar, meliuk... Aku mengerahkan semua kemampuanku hari ini. Aku harus bisa menampilkan yang terbaik. Hingga akhirnya musik berhenti mengalun dan pertunjukkan selesai.
Dengan segera aku menuju ke belakang panggung untuk menemui Sania yang berjanji akan menemui ku disana. Benar saja, ternyata Sania sudah berdiri menungguku dengan senyum sumringahnya.
“Congrats dear! Lo keren banget tadi!!!” pujinya sambil memelukku yang masih terjebak dalam balutan gaun baletku.
“Makasih yaaa,” aku pun balas memeluknya dan langsung melihat ke sekelilingku, mencari Ken.
“Nyari dia?” tanya Sania. “Tuh disana,” ucapnya sambil menunjuk ke arah pintu belakang.
Aku pun akhirnya melihat Ken dari jarak dekat. Dia terlihat begitu... dewasa. Aku... sepertinya aku memang benar-benar mencintainya.
“Hai!” tiba-tiba Ken melihatku dan menyapaku.
Aku hanya bisa bengong melihatnya menghampiriku. Aku benar-benar tidak menyangka ini semua akan terjadi.
“Finka kan? Masih inget gue?”
“Masih,” ucapku berusaha berbicara disela degupan kencang jantungku, namun yang keluar dari bibirku justru terdengar seperti kicauan kecil.
“Ternyata lo balerina ya? Wah keren banget tadi! Selamat ya!” ucapnya sambil mengarahkan tangan kanannya padaku, mengajak berjabatan.
“Makasih,” aku menjabat tangannya dengan gugup.
“Hai Ken!” satu sosok cewek yang ku kenali sebagai salah satu teman di kelas baletku tiba-tiba ikut menghampiri Ken. “Udah lama?”
“Nggak, baru aja.”
“Finka kenal sama Ken juga?” tiba-tiba dia menanyaiku.
“I..iya. Pernah gak sengaja kenalan waktu itu di kampus. Lo kenal juga ya Va?”
“Iya, dia tunanganku,” jawab Eva yang terasa seperti hantaman keras didadaku. Ken... tunangannya????
Selama beberapa menit berikutnya aku hanya bisa terdiam lemas di tempatku berdiri. Aku benar-benar bingung, apa yang akan ku lakukan sekarang? Haruskah ku menangisi keadaan? Haruskah aku menyalahi takdir yang sepertinya sangat memusuhiku? Haruskah aku melanjutkan karirku sebagai balerina??? Rasanya ini semua terlalu menyesakkan, sangat sesak hingga aku tidak bisa menangis, tidak bisa menyalahkan takdir dan hanya bisa terdiam. Setidaknya, dia sudah melihatnya tadi, one swan lake for him. One and only. Selamat tinggal, Ken...
-TAMAT-
Comments