ONE LOST BRIDE

Nara’s...

     Gaun itu masih terus dipandangi olehnya dengan tatapan kagum dan bahagia. Ya. Tentu saja. Siapa yang tidak bahagia menjelang hari pernikahannya sendiri? Aku pun sebagai calon mempelai pria disini sangat bahagia. Kebahagiaan ini melebihi semua perasaan yang pernah ada, yang pernah ku rasakan. Benar-benar amat jauh berbeda.

“Kau suka?” tanyaku dengan suara lembut menghampiri calon istriku.
“Suka sekali. Ini.. indah. Sangat indah,” balasnya berbisik.
     Aku tersenyum mendengarnya. Sambil terus menggenggam lembut tangan gadisku tersebut. Namun, tiba-tiba saja ponselku berbunyi dan menghancurkan suasana romantis itu. Dengan agak kesal aku menjawab panggilan itu.
“Ya? Tugasnya? Apa? Akan segera dilanjutkan? Kapan? Namun bagaimana dengan... Oke, oke. Baiklah. Besok saya segera mengurus semuanya,” ucapku seraya berjalan menjauh menghindari tatapan curiga, Reisha, gadis yang sangat kucintai.
     Setelah panggilan itu terputus, aku pun menghela napas berat. Tidak menyangka aku harus meninggalkan dia, gadisku, Reisha, menjelang hari pernikahan kami. Astaga.
“Ada apa?” tanya Reisha yang ternyata dapat membaca air wajahku yang tiba-tiba berubah aneh.
“Ah tidak ada apa-apa,” ucapku tersenyum berusaha bersikap seakan semuanya baik-baik saja. Yah.. setidaknya itu harapanku.

     Tugas, misi penting. Terkadang aku menyesal harus terlibat dalam semua hal mengenai agen-agen rahasia ini. Ya. Aku merupakan salah satu agen rahasia dalam satu badan intelijen khusus bernama ROA (Research Operation Agent) dan saat ini kami –tepatnya aku- harus memecahkan sebuah masalah keuangan besar yang sedang melanda sebuah perusahaan ternama di Indonesia. Masalah ini bukanlah masalah biasa. Ini adalah sebuah misi penting yang benar-benar dapat menentukan segalanya nanti.
     Aku..well.. sebenarnya aku menyukai semua hal mengenai badan intelijen ini, namun belakangan ini, disaat aku sedang disibukkan dengan segala macam persiapan pernikahanku, aku justru harus menyelesaikan sebuah misi penting yang cukup sulit dan mungkin dapat mengancam keselamatanku sendiri. Aku menyukainya, namun aku membencinya. Ah sangat membingungkan!
“Aku harus berangkat ke Surabaya besok, Rei. Maaf ya tidak bisa membantu menyelesaikan urusan wedding kita,” ucapku dengan nada suara menyesal melalui ponsel.
“Begitukah? Mm.. baiklah, tidak apa-apa. Pekerjaanmu kan membutuhkan perhatian darimu juga. Aku bisa mengurus semuanya,” jawabnya terdengar santai.
“Maaf ya.”
“Tidak apa-apa, Nara. Serius. Have a save flight tomorrow, dear! Gonna miss you a lot,” balas Reisha lembut.
Me too. Sleep tight, pumpkin.”
     Aku memutuskan panggilan dengan perasaan berat yang mengganjal di dada. Lagi-lagi aku harus membohongi Reisha perihal pekerjaanku. Ya, gadis itu sama sekali tidak mengetahui apa pekerjaanku yang sebenarnya. Yang dia tau, aku hanyalah seorang manager keuangan di sebuah perusahaan besar, that’s it. Aku benar-benar merasa bersalah padanya. Sangat.

     Gedung pencakar langit itu menjulang tinggi di hadapanku. Aku memandangnya dengan tatapan takut dan gugup. Semua rencana sudah tersusun rapi dalam otakku. Segala peralatan canggih sudah tersedia. Sekarang saatnya menyelesaikan misi pentingku. Ya.. segera menyelesaikannya dengan rapi lalu pergi atau.... gagal dan mati. Entahlah. Aku benar-benar tidak pernah memikirkan hal seperti ini sebelumnya. Karena selama ini misi yang kutangani selalu sederhana dan mudah, namun tidak untuk kali ini. Astaga.

     Lelaki dihadapanku berdiri dengan seringai licik menghiasi wajahnya, serta tatapan tajam ingin membunuhku. Aku gagal menyelesaikan misi. Ya. Aku sukses tertangkap oleh musuh. Damn! Aku benar-benar benci semua hal mengenai intelijen tolol ini sekarang.
     Dengan napas memburu aku berusaha mengumpulkan kembali tenagaku. Kurang ajar, aku berhasil dikalahkan dengan telak oleh ketiga pesuruh lelaki bengis itu. Tanpa banyak menunggu aku pun bangkit dan berusaha melayangkan sebuah pukulan ke salah satu dari ketiga preman tersbut, namun gagal. Aku benar-benar sudah tidak bisa berbuat apapun lagi. Tidak bisa memikirkan hal apapun lagi. Kepalaku terasa sakit, badanku remuk redam. Saat ini aku hanya berharap agen ROA lain akan datang menolongku, mengeluarkan ku dari kondisi buruk ini dan langsung membawaku pada Reisha. Ya. Reisha. Aku ingin bertemu dengannya. Banyak hal yang masih perlu diurus mengenai pernikahan ku dengannnya. Tidak. Pernikahanku.
“Ternyata ROA sudah mengirim orang yang salah kali ini. Seorang lelaki lemah! Haha!” ucap lelaki bengis itu yang ku kenali sebagai Ricky, sang juru kunci dari semua permasalahan ini.
“Begitu? Setidaknya aku tidak membutuhkan tiga orang lelaki lain untuk membantuku saat ini!” balasku dengan semua tenaga yang masih tersisa.
“Masih berani kau, Nara? Mungkin semua kesombongamu akan hilang begitu merasakan bagaimana sakit yang sebenarnya,” balas Ricky marah. “Bawa dia!”
     Kemudian tubuhku pun diseret dengan kasar menuju sebuah ruangan tertutup berdinding putih dengan sebuah kursi kayu terletak di tengahnya. Apa lagi ini? Pikiranku pun mulai melayang ke arah yang buruk.
“Cepat jelaskan apa yang sebenarnya ROA rencanakan!” perintah Ricky sang juru kunci.
“Maaf tuan, anda tidak berhak memaksa saya untuk mengatakannya,” jawabku dengan nada menantang.
“Oh rupanya kau benar-benar sangat keras kepala. Mungkin perlu dilunakkan sedikit, bagaimana?” ucapnya dengan nada lembut namun menyiratkan kejahatan mendalam. “Hantam dia!”
    Begitu perintah itu diucapkan, tiba-tiba saja satu pukulan kencang mendarat tepat di kepala belakangku. Aku pun terjatuh lemas dengan darah segar mengalir di pelipis kananku.
“Masih tidak ingin mengatakannya, heh?” tanya Ricky lagi.
“Tidak,” jawabku terbata.
“Hantam lagi.”
     Satu pukulan keras kembali mendarat di kepalaku. Tidak. Ini semua terlalu menyakitkan. Sepertinya semua pikiranku tadi benar. Sukses dengan rapi, atau gagal dan mati. Namun.. aku..
“Hantam lagi.”
     Mungkin ini akhirnya. Akhir dari hidupku. Reisha. Wajah gadis itu tiba-tiba berkelebat cepat dalam otakku. Calon istriku, pernikahanku dengannya. Tuhan.. mungkinkah masih ada kesempatan? Kesempatan untukku kembali kepadanya? Atau mungkin... ini akhirnya?
“Lagi.”
     Ya... ini akhirnya.


Reisha’s..

     Aku memandangi ponsel ku dengan perasaan was was. Sudah tiga hari ini ponsel Nara tidak bisa dihubungi. Dia juga tidak mengirim email atau memberiku kabar sedikitpun mengenai keadaannya.
     Khawatir, takut, hanya hal itulah yang mengisi pikiranku belakangan ini. Kemana perginya Nara? Bahkan keluarganya pun tidak mengetahui keberadaannya sekarang. Semoga tidak ada hal buruk yang menimpanya. Aku sangat berharap begitu.

     Pernikahanku dipastikan batal. Seminggu menjelang pernikahan namun Nara belum juga muncul atau memberikan kabar apapun padaku. Astaga. Mungkinkah telah terjadi sesuatu yang buruk padanya? Tidak. Aku bahkan tidak ingin memikirkannya. Namun... kemanakah Nara????

     Nara menghilang. Ya pasti. Hanya tangis yang mengisi hariku saat ini. Lusa seharusnya menjadi hari yang paling membahagiakan untukku dan Nara, namun tidak ada tanda-tanda keberadaan atau informasi mengenai lelaki itu. Tidak. Aku benci ini. Mengapa semuanya harus menjadi seperti ini???

D-Day...

     Gaun itu terpasang manis di tubuhku. Aku memandanginya dengan sangat jelas melalui refleksi ku dalam cermin besar itu. Namun, refleksi itu terlalu buruk. Buruk rupanya, buruk hatinya, dan buruk segalanya. Ini semua seperti sebuah ironi. Ironi yang terlalu manis. Perlahan airmata ku kembali menetes dan membasahi gaun pengantin mahalku. Dengan kasar aku segera menariknya dari tubuhku. Melepaskannya. Merobeknya hingga menjadi serpihan. Semua ini penuh dengan kepalsuan. Hatiku terlalu hancur. Gaun ini terlalu kontras dengan keadaan hatiku. Tidak. Ini semua hanya mimpi, ya kuharap begitu. Namun tidak. Ini kenyataan.
     Tidak ada Nara. Tidak ada pernikahan. Tidak ada resepsi. Tidak ada janji untuk bersama. Tidak ada lagi rasa cinta itu. Tidak. Yang ada hanya luka, sakit dan perih. Semua hiasan itu, undangan, semuanya kamuflase. Kamuflase dari kehidupanku yang menyedihkan.
     Sungguh ironis bukan? Sang mempelai pria menghilang menjelang hari pernikahannya. Sungguh lucu. Ingin sekali aku tertawa. Namun, hanya ada airmata. Ingin ku berteriak, namun hanya ada kekosongan dalam diriku. Tidak. Semuanya hilang. Nara. Lelaki yang sangat kucintai. Calon suamiku. Hilang. Pergi. Tanpa jejak.

-THE END-

Comments