Aku berdiri dengan canggung di sebelah pria berparas dingin itu sambil memandangi jalanan menanjak yang cukup terjal dihadapanku. Sepertinya petualanganku selanjutnya bersama dengan Alfa akan dimulai hari ini. Ya, Alfa sahabatku. Sahabat? Entahlah. Aku menganggapnya sebagai sahabatku namun aku tidak tau bagaimana dengannya. Alfa terlalu dingin, terlalu rumit untuk ditebak, terlalu sulit untuk ditaklukkan. Begitulah anggapan semua orang tentang pria berwajah diatas rata-rata disampingku ini. Bisakah sebuah persahabatan hanya disetujui oleh satu pihak? Jika iya, maka seperti itulah persahabatanku dengannya. Aku sendiri pun bingung menafsirkannya. Alfa benar-benar seperti angin yang berhembus. Terkadang bisa sangat menyejukkan, namun bisa juga menghancurkan. Dia selalu muncul disaat aku membutuhkannya, namun dia juga sering menghilang dan mengacuhkanku. Astaga! Rumit sekali hubungan persahabatanku dengan pria satu ini.
Kembali ke petualanganku. Hari ini, aku, Alfa, serta kelompok PA* di kampusku akan mengadakan pendakian ke gunung Mahameru. Benar-benar sangat menyenangkan bukan?!
“Fa, di puncak nanti pasti keren banget ya pemandangannya!” ucapku bersemangat sambil menatap jauh ke arah puncak gunung Mahameru yang entah kapan bisa ku capai.
“Hmm..” Alfa bergumam cuek.
“Kamu tuh.. selalu deh!” balasku sebal.
“Udah, cepetan jalan.”
Akhirnya dengan dongkol aku pun mengikuti langkah terburu-buru Alfa. Dasar tuan gunung es!
Aku berjalan tertatih sambil berusaha mengatur napasku. Pendakian sudah berlangsung selama 2 jam tanpa istirahat dan semakin jauh aku melangkah jalurnya semakin terjal dan menyeramkan. Aku kelelahan. Semua tenaga ku sudah terkuras habis. Dengan perasaan ragu aku pun memanggil Alfa yang masih terus berjalan di depanku.
“Fa, istirahat bentar dong!”
“Baru 2 jam pendakian dan lo udah minta istirahat?” tanya Alfa sinis.
“Alfa kejam banget sih! Capek tau!” balasku sebal.
“Hei semua juga capek. Tapi jangan manja begini.”
“Tapi aku kan... Awwww!” kalimatku tidak sempat terselesaikan karena tiba-tiba saja kaki kiriku tergelincir dan aku jatuh terjerembap ke bebatuan keras dibawahku.
“Keysia!” Alfa dengan sigap langsung menghampiriku.
“Aduuh.. Fa, berdarah. Sakit banget,” ucapku meringis saat merasakan darah segar mengalir di pergelangan tanganku
“Lo tuh ada-ada aja deh Key. Kan udah dibilangin hati-hati,” Alfa mengomel sambil mengobati luka yang dengan indahnya menghiasi pergelangan tanganku.
Aku hanya bisa diam mendengar omelan panjang dari sahabatku itu. Walaupun sebal, tapi setidaknya hal seperti inilah yang selalu membuatku yakin kalau Alfa juga menganggapku sebagai sahabatnya. Pria ini... kebaikannya selalu tertutup oleh sikap dinginnya.
“Nah udah. Ayo lanjut jalan lagi. Kita udah ketinggalan nih,” ucap Alfa tidak sabar saat luka ku sudah berhasil diobatinya.
“Makasih ya Fa,” ucapku lembut dan langsung bersiap untuk melanjutkan pendakian.
Alfa.. haruskah aku menggoreskan lebih banyak luka untuk bisa melihat kebaikan mu?
Matahari sudah kembali ke peraduannya dan malam pun mulai menyapa. Namun, sepertinya belum ada tanda-tanda bahwa jalan terjal dihadapanku ini akan segera berakhir. Seharusnya aku sudah berada di tempat peristirahatan saat ini, namun karena tragedi jatuh tadi, aku dan Alfa pun tertinggal di belakang dan belum bisa merasakan nikmatnya duduk beristirahat di depan api unggun dengan yang lainnya.
“Masih jauh ya Fa?” tanyaku dengan napas tersengal.
“Nggak kok. Sedikit lagi. Ayo cepet Key! Udah makin gelap,” jawab Alfa.
Aku pun terus melangkah dan melangkah bersama Alfa yang dengan sabarnya menuntunku yang sudah tidak bertenaga lagi. Tidak lama kemudian, samar-samar aku mendengar suara celotehan orang-orang. Sepertinya aku dan Alfa sudah sampai di tempat peristirahatan. Syukurlah.
Esoknya aku dan anggota PA lainnya kembali melanjutkan pendakian bahkan sebelum matahari naik. Udara pagi di kawasan pegunungan memang amat sangat jauh berbeda. Aku berjalan dengan mengenakan berlapis-lapis jaket. Kali ini aku tidak boleh menyusahkan Alfa lagi atau siapapun. Tidak.
Waktu terus bergulir, matahari semakin meninggi, aku dan yang lainnya juga masih terus melangkah menyusuri jalanan yang semakin lama semakin ekstrim. Aku berusaha mendaki dengan memanfaatkan berbagai benda yang ada disekitarku. Seperti batang pohon, ranting, atau apapun yang dapat kujadikan sebagai pegangan dan tumpuan agar aku tidak terjatuh. Dengan hati-hati aku meraih batang pohon besar untuk bisa mendaki jalan didepanku yang kemiringannya benar-benar menyeramkan. Namun, tiba-tiba saja rasa sakit langsung menjalari lengan ku tepat persis dimana luka ku berada. Aku meringis dan berusaha menahannya. Tidak. Hal seperti ini tidak boleh membuatku manja. Aku pun melanjutkan pendakian sambil terus menahan rasa sakit yang semakin lama semakin parah. Ada apa ini sebenarnya?
Aku langsung terduduk lemas saat sampai di tempat peristirahatan selanjutnya. Lelah sekali dan sakit. Ya. Sepertinya ada yang salah dengan luka ku ini. Mengapa rasanya sakit sekali dan... membengkak? Astaga.
“Key... ini infeksi! Lo kok nggak bilang sih!” ucap Alfa kaget saat tanpa sengaja dia melihat luka di lenganku yang semakin parah.
“Nggak apa-apa kok Fa. Beneran deh,” jawabku jelas-jelas berbohong. Akhirnya dengan sigap Alfa pun kembali mengurusi luka ku lagi. Astaga... Sepertinya aku hanya bisa menyusahkannya.
Setelah beristirahat, Pendakian terus dilanjutkan dan aku sama sekali tidak tau sudah berapa kilometer jauhnya jarak yang sudah ditempuh. Yang bisa ku pikirkan hanyalah puncak Mahameru yang sering diperbincangkan oleh orang banyak karena pemandangannya yang bahkan bisa mengalahkan segala jenis keindahan yang ada. Wow!
Aku melangkah sambil berusaha mengatur napasku yang mulai tersengal bersama dengan Alfa yang berjalan tepat di depanku dan akan menanyakan keadaan luka ku setiap beberapa jam sekali. Sepertinya pria ini benar-benar khawatir sejak melihat luka ku yang semakin parah karena infeksi. Biarkanlah. Setidaknya ini akan menjadi satu bukti lagi bahwa Alfa benar-benar sayang padaku seperti aku sayang padanya.
Diam-diam aku pun memperhatikan Alfa yang masih terus melangkah tanpa ragu melewati jalanan terjal di hadapannya. Aku memandanginya dan mulai bertanya-tanya dalam hati, bagaimana jika aku kehilangan Alfa? Atau bagaimana jika sebaliknya? Aku sudah terbiasa melihat Alfa setiap hari sejak duduk di bangku SMP hingga kuliah saat ini, namun jika suatu saat pria ini pergi, berpisah denganku, relakah aku? Atau mungkin jika suatu saat nanti justru aku yang harus meninggalkannya? Sedihkah dia? Relakah dia?
Namun saat sedang asik memperhatikan Alfa, tiba-tiba saja keseimbanganku hilang dan aku jatuh terguling ke bebatuan curam yang ada disampingku.
“Keysia!!!” teriak Alfa kaget dan langsung melompat berusaha untuk meraihku.
Aku dengan perasaan panik berusaha menarik benda apapun yang ada di sekitarku agar bisa menahan tubuhku, namun percuma. Tubuhku terus meluncur menuruni tebing curam yang entah kapan akan menemui ujungnya. Aku berteriak, meronta, berusaha menyelamatkan diri. Samar aku melihat Alfa ikut menuruni tebing dengan terburu-buru. Dia meraih tanganku yang masih terus berusaha mencari pegangan. Dengan sekuat tenaga dia berusaha menarikku. Dikejauhan aku melihat semua teman-temanku sudah menyiapkan berbagai alat untuk membantuku. Aku memandang wajah Alfa yang hanya berjarak satu meter dihadapanku. Wajahnya melukiskan kekhwatiran yang mendalam. Sangat amat khawatir.
“Key, bertahan ya,” ucapnya lembut.
Aku terus memandangnya dengan tatapan sedih. Kemudian aku memandang jurang dibawahku. Mungkinkah ini akhirnya? Mungkinkah ini realisasi dari apa yang kubayangkan tadi?
“Alfa..” ucapku merintih.
Pria itu pun mengalihkan pandangannya ke arah lenganku. Tidak. Ternyata lenganku yang terluka yang harus menahan beban tubuhku. Aku tidak kuat lagi. Terlalu menyakitkan. Tanpa sadar airmataku menetes.
“Lo pasti bisa Key. Ayo! Pelan-pelan coba tarik tubuh lo keatas,” ucap Alfa berusaha menenangkan.
Aku berusaha menarik tubuhku. Namun percuma. Ini semua percuma. Mungkin benar, ini akhirnya.
“Nggak bisa. Maafin aku Fa. Maaf,” ucapku sedih.
“Key.. lo nggak boleh ngomong gitu. Nggak Key!”
“Lepasin aku aja Fa. Aku nggak bisa.”
Perlahan genggaman tanganku dengan Alfa pun mengendur. Sakit. Namun tidak lama lagi semua ini akan berakhir. Ya.
“Keysia!!!! Lo bisa naik lagi. Percaya sama gue! Ayo Key!” ucap Alfa berteriak histeris dengan airmata yang perlahan mengalir di pipinya. Alfa..... menangis?
“Maaf Fa,” ucapku pasrah. “Kamu benar-benar sahabat terbaik yang ku punya.”
“KEYSIA..............!”
Alfa berteriak histeris saat aku melepaskan genggamannya. Dia.. dia menangis. Sedih. Setidaknya saat ini aku yakin, dia benar-benar menyayangiku sebagai sahabatnya juga. Selamat tinggal, Alfa.
Mini note :
*PA : Pecinta Alam
Kembali ke petualanganku. Hari ini, aku, Alfa, serta kelompok PA* di kampusku akan mengadakan pendakian ke gunung Mahameru. Benar-benar sangat menyenangkan bukan?!
“Fa, di puncak nanti pasti keren banget ya pemandangannya!” ucapku bersemangat sambil menatap jauh ke arah puncak gunung Mahameru yang entah kapan bisa ku capai.
“Hmm..” Alfa bergumam cuek.
“Kamu tuh.. selalu deh!” balasku sebal.
“Udah, cepetan jalan.”
Akhirnya dengan dongkol aku pun mengikuti langkah terburu-buru Alfa. Dasar tuan gunung es!
Aku berjalan tertatih sambil berusaha mengatur napasku. Pendakian sudah berlangsung selama 2 jam tanpa istirahat dan semakin jauh aku melangkah jalurnya semakin terjal dan menyeramkan. Aku kelelahan. Semua tenaga ku sudah terkuras habis. Dengan perasaan ragu aku pun memanggil Alfa yang masih terus berjalan di depanku.
“Fa, istirahat bentar dong!”
“Baru 2 jam pendakian dan lo udah minta istirahat?” tanya Alfa sinis.
“Alfa kejam banget sih! Capek tau!” balasku sebal.
“Hei semua juga capek. Tapi jangan manja begini.”
“Tapi aku kan... Awwww!” kalimatku tidak sempat terselesaikan karena tiba-tiba saja kaki kiriku tergelincir dan aku jatuh terjerembap ke bebatuan keras dibawahku.
“Keysia!” Alfa dengan sigap langsung menghampiriku.
“Aduuh.. Fa, berdarah. Sakit banget,” ucapku meringis saat merasakan darah segar mengalir di pergelangan tanganku
“Lo tuh ada-ada aja deh Key. Kan udah dibilangin hati-hati,” Alfa mengomel sambil mengobati luka yang dengan indahnya menghiasi pergelangan tanganku.
Aku hanya bisa diam mendengar omelan panjang dari sahabatku itu. Walaupun sebal, tapi setidaknya hal seperti inilah yang selalu membuatku yakin kalau Alfa juga menganggapku sebagai sahabatnya. Pria ini... kebaikannya selalu tertutup oleh sikap dinginnya.
“Nah udah. Ayo lanjut jalan lagi. Kita udah ketinggalan nih,” ucap Alfa tidak sabar saat luka ku sudah berhasil diobatinya.
“Makasih ya Fa,” ucapku lembut dan langsung bersiap untuk melanjutkan pendakian.
Alfa.. haruskah aku menggoreskan lebih banyak luka untuk bisa melihat kebaikan mu?
Matahari sudah kembali ke peraduannya dan malam pun mulai menyapa. Namun, sepertinya belum ada tanda-tanda bahwa jalan terjal dihadapanku ini akan segera berakhir. Seharusnya aku sudah berada di tempat peristirahatan saat ini, namun karena tragedi jatuh tadi, aku dan Alfa pun tertinggal di belakang dan belum bisa merasakan nikmatnya duduk beristirahat di depan api unggun dengan yang lainnya.
“Masih jauh ya Fa?” tanyaku dengan napas tersengal.
“Nggak kok. Sedikit lagi. Ayo cepet Key! Udah makin gelap,” jawab Alfa.
Aku pun terus melangkah dan melangkah bersama Alfa yang dengan sabarnya menuntunku yang sudah tidak bertenaga lagi. Tidak lama kemudian, samar-samar aku mendengar suara celotehan orang-orang. Sepertinya aku dan Alfa sudah sampai di tempat peristirahatan. Syukurlah.
Esoknya aku dan anggota PA lainnya kembali melanjutkan pendakian bahkan sebelum matahari naik. Udara pagi di kawasan pegunungan memang amat sangat jauh berbeda. Aku berjalan dengan mengenakan berlapis-lapis jaket. Kali ini aku tidak boleh menyusahkan Alfa lagi atau siapapun. Tidak.
Waktu terus bergulir, matahari semakin meninggi, aku dan yang lainnya juga masih terus melangkah menyusuri jalanan yang semakin lama semakin ekstrim. Aku berusaha mendaki dengan memanfaatkan berbagai benda yang ada disekitarku. Seperti batang pohon, ranting, atau apapun yang dapat kujadikan sebagai pegangan dan tumpuan agar aku tidak terjatuh. Dengan hati-hati aku meraih batang pohon besar untuk bisa mendaki jalan didepanku yang kemiringannya benar-benar menyeramkan. Namun, tiba-tiba saja rasa sakit langsung menjalari lengan ku tepat persis dimana luka ku berada. Aku meringis dan berusaha menahannya. Tidak. Hal seperti ini tidak boleh membuatku manja. Aku pun melanjutkan pendakian sambil terus menahan rasa sakit yang semakin lama semakin parah. Ada apa ini sebenarnya?
Aku langsung terduduk lemas saat sampai di tempat peristirahatan selanjutnya. Lelah sekali dan sakit. Ya. Sepertinya ada yang salah dengan luka ku ini. Mengapa rasanya sakit sekali dan... membengkak? Astaga.
“Key... ini infeksi! Lo kok nggak bilang sih!” ucap Alfa kaget saat tanpa sengaja dia melihat luka di lenganku yang semakin parah.
“Nggak apa-apa kok Fa. Beneran deh,” jawabku jelas-jelas berbohong. Akhirnya dengan sigap Alfa pun kembali mengurusi luka ku lagi. Astaga... Sepertinya aku hanya bisa menyusahkannya.
Setelah beristirahat, Pendakian terus dilanjutkan dan aku sama sekali tidak tau sudah berapa kilometer jauhnya jarak yang sudah ditempuh. Yang bisa ku pikirkan hanyalah puncak Mahameru yang sering diperbincangkan oleh orang banyak karena pemandangannya yang bahkan bisa mengalahkan segala jenis keindahan yang ada. Wow!
Aku melangkah sambil berusaha mengatur napasku yang mulai tersengal bersama dengan Alfa yang berjalan tepat di depanku dan akan menanyakan keadaan luka ku setiap beberapa jam sekali. Sepertinya pria ini benar-benar khawatir sejak melihat luka ku yang semakin parah karena infeksi. Biarkanlah. Setidaknya ini akan menjadi satu bukti lagi bahwa Alfa benar-benar sayang padaku seperti aku sayang padanya.
Diam-diam aku pun memperhatikan Alfa yang masih terus melangkah tanpa ragu melewati jalanan terjal di hadapannya. Aku memandanginya dan mulai bertanya-tanya dalam hati, bagaimana jika aku kehilangan Alfa? Atau bagaimana jika sebaliknya? Aku sudah terbiasa melihat Alfa setiap hari sejak duduk di bangku SMP hingga kuliah saat ini, namun jika suatu saat pria ini pergi, berpisah denganku, relakah aku? Atau mungkin jika suatu saat nanti justru aku yang harus meninggalkannya? Sedihkah dia? Relakah dia?
Namun saat sedang asik memperhatikan Alfa, tiba-tiba saja keseimbanganku hilang dan aku jatuh terguling ke bebatuan curam yang ada disampingku.
“Keysia!!!” teriak Alfa kaget dan langsung melompat berusaha untuk meraihku.
Aku dengan perasaan panik berusaha menarik benda apapun yang ada di sekitarku agar bisa menahan tubuhku, namun percuma. Tubuhku terus meluncur menuruni tebing curam yang entah kapan akan menemui ujungnya. Aku berteriak, meronta, berusaha menyelamatkan diri. Samar aku melihat Alfa ikut menuruni tebing dengan terburu-buru. Dia meraih tanganku yang masih terus berusaha mencari pegangan. Dengan sekuat tenaga dia berusaha menarikku. Dikejauhan aku melihat semua teman-temanku sudah menyiapkan berbagai alat untuk membantuku. Aku memandang wajah Alfa yang hanya berjarak satu meter dihadapanku. Wajahnya melukiskan kekhwatiran yang mendalam. Sangat amat khawatir.
“Key, bertahan ya,” ucapnya lembut.
Aku terus memandangnya dengan tatapan sedih. Kemudian aku memandang jurang dibawahku. Mungkinkah ini akhirnya? Mungkinkah ini realisasi dari apa yang kubayangkan tadi?
“Alfa..” ucapku merintih.
Pria itu pun mengalihkan pandangannya ke arah lenganku. Tidak. Ternyata lenganku yang terluka yang harus menahan beban tubuhku. Aku tidak kuat lagi. Terlalu menyakitkan. Tanpa sadar airmataku menetes.
“Lo pasti bisa Key. Ayo! Pelan-pelan coba tarik tubuh lo keatas,” ucap Alfa berusaha menenangkan.
Aku berusaha menarik tubuhku. Namun percuma. Ini semua percuma. Mungkin benar, ini akhirnya.
“Nggak bisa. Maafin aku Fa. Maaf,” ucapku sedih.
“Key.. lo nggak boleh ngomong gitu. Nggak Key!”
“Lepasin aku aja Fa. Aku nggak bisa.”
Perlahan genggaman tanganku dengan Alfa pun mengendur. Sakit. Namun tidak lama lagi semua ini akan berakhir. Ya.
“Keysia!!!! Lo bisa naik lagi. Percaya sama gue! Ayo Key!” ucap Alfa berteriak histeris dengan airmata yang perlahan mengalir di pipinya. Alfa..... menangis?
“Maaf Fa,” ucapku pasrah. “Kamu benar-benar sahabat terbaik yang ku punya.”
“KEYSIA..............!”
Alfa berteriak histeris saat aku melepaskan genggamannya. Dia.. dia menangis. Sedih. Setidaknya saat ini aku yakin, dia benar-benar menyayangiku sebagai sahabatnya juga. Selamat tinggal, Alfa.
- TAMAT -
Mini note :
*PA : Pecinta Alam
Comments
keren ceritanya, tulisannya rapih banget. ^_^