ONE LAST SHOT (short story by Nadya)


Dia datang kerumahku disaat yang tidak tepat. Disaat hidupku sedang hancur, hatiku terluka, dengan seenaknya buronan itu datang. Well, buronan. Dia memang seorang buronan yang sedang dicari-cari oleh polisi. Marco dituduh atas suatu pembunuhan yang sebenarnya tidak dia lakukan. Hmm...itu sih ucapannya saja. Seharusnya, aku tidak mempercayai dia. Terlebih lagi dia adalah buronan polisi. Tapi entah mengapa rasanya aku harus mempercayainya. Saat menatap matanya aku pun percaya bahwa Marco tidak bersalah.

Oke, mungkin harusnya aku tidak meneimanya begitu saja. Terlebih lagi dia kabur dan tinggal di rumahku saat ini. Mungkin lebih tepatnya dia tinggal di kamarku. Well, aku menyuruhnya untuk tinggal di kamarku karena aku tidak mau satu orang pun - termasuk pembantuku – tau kalau ada seorang buronan polisi dirumahku. Untungnya orang tuaku sedang sibuk mengurus bisnisnya diluar negeri dan meninggalkanku sendiri. Menurutku itu adalah hal yang paling menyedihkan dalam hidupku. Mengetahui bahwa orang tuaku lebih mementingkan bisnisnya daripada aku.

Jadi, Marco datang disaat yang sangat tidak tepat. Tapi semenjak dia tinggal dirumahku – di kamarku lebih tepatnya. Aku jadi mempunyai teman baru. Marco sangat mengerti perasaanku. Well, agak aneh memang. Padahal aku baru mengenalnya sekitar 2 minggu yg lalu, tapi rasanya dia sudah sangat mengenalku. Dia mampu membuatku tertawa saat aku sedih, dia juga rela mendngarkan curahan hatiku yang sangat membosankan tentang cowok yang sangat kusayangi namun meninggalkanku begitu saja, bahkan dia juga memberikan saran untukku agar bisa melupakan cowok brengsek itu. Yah...aku mengaku bahwa Marco benar-benar sudah jadi teman yang sangat baik untukku. Heeemmm...teman? well, mungkin aku mengharapkan sesuatu yang lebih dari itu. Entahlah...

Biasanya aku selalu pulang agak terlambat dari sekolah. Yah...kalian pasti tau apa yang akan dilakukan seorang anak SMA jika pulang sekolah. Nongkrong dan jalan-jalan untuk me-refresh otak merupakan suatu kewajiban untukku. Well. Semenjak ada Marco dirumahku, atau di kamarku lebih tepatnya, aku selalu pulang tepat waktu dari sekolah. Aneh memang, tapi aku juga tidak tau mengapa. Rasanya aku ingin selalu tinggal di kamarku berama Marco yang selalu bisa membuatku tersenyum. Oke, itu memang agak berlebhan, tapi itulah yang aku rasakan saat ini.

Hari ini pun saat bel pulang sekolah berbunyi, aku pun langsung menuju parkiran mobil dan langsung tancap gas pulang. Dengan secepat mungkin aku berusaha untuk segera sampai dirumah. Entahlah, aku merasakan sesuatu yang aneh sepanjang hari ini. Sepertinya berhubungan dengan Marco. Tapi aku tidak bisa mencari tau langsung karena nggak ada yang tau tentang Mar co. Semoga tidak ada sesuatu yang buruk menimpanya.

Sesampainya didepan rumahku, aku langsung memarkir mobilku sembarangan dan langsung menerobos masuk kedalam rumah. Saat aku masuk, terjawablah sudah semua kebingunganku daritadi. Ternyata pembantuku berhasil menemukan Marco dikamarku dan sekarang dia mengikatnya. Celaka!

“Kenapa dia diikat gini?” tanyaku sambil langsung membuka ikatan lengan dan kaki Marco.
“Dia kan buronan yang sedang dicari polisi, non! Tadi dia ada di kamar non Pingkan, ya udah bibi ikat aja, terus bibi telepon polisi deh?!”
“Aduh Bi...! bibi telepon polisi??? Gawat deh!!!” balasku panik.
“Kayaknya aku harus segera pergi dari sini,” ucap Marco angkat bicara.
“Kenapa kamu nggak coba untuk menjelaskan yang sebenarnya aja ke polisi itu?” tanyaku merasa nggak rela jika Marco harus terus jadi buronan.
“Nggak semudah itu. Mereka nggak akan percaya,” jawab Marco putus asa. “Makasih ya Pingkan, kamu udah baik banget sama aku. Satu hari nanti aku pasti akan membalas semua kebaikanmu. kamu gadis yang sangat baik.

Seandainya bisa, aku ingin meminta agar Marco tetap bersamaku disini. Tapi aku hanya bisa mengatakan, “Kamu juga udah jadi teman yang baik banget buatku! Makasih Marco!”

Kemudian tiba-tiba saja Marco menarik tubuhku ke dalam pelukannya yang hangat. Ingin rasanya aku terus begini, namun nggak mungkin, karena Marco langsung meninggalkan rumahku saat itu juga. Pelukannya yang pertama dan juga yang terakhir.

Kurang dari semenit setelah Marco meninggalkan rumahku, terdengar suara ledakan. Tunggu, itu bukan suaa ledakkan, melainkan suara tembakan peringatan dari polisi. Pasti polisi tersebut sudah melihat Marco yang kabur dari rumahku sehingga mereka memberikan tembakan peringata untuk Marco. Nggak, Marco nggak bersalah, dia nggak boleh ditangkap dan dilukai.

Dengan tergesa-gesa aku pun langsung lari keluar dari rumah dan menyusul Marco. Terlihatlah disana para polisi sedang mengacungkan pistolnya ke arah Marco yang masih mencoba kabur. Entah dengan keberanian darimana, aku pun lari ke arah polisi tersebut dan menghalangi tembakan mereka ke arah Marco.

“Saya mohon jangan tangkap dia. Dia tidak berslah!” ucapku berani.
“Maaf, anda telah mengganggu proses penangkapan buronan tersebut. Lebih baik anda menyingkir sebelum celaka,” balas polisi tersebut.
“Nggak, Marco nggak salah. Kalian nggak boleh menangkapnya!”
“Kalau anda tidak menyingkir dari situ, anda juga bisa bernasib sama sepetinya,” balas polisi itu lagi.
“Terserah, saya hanya ingin membela pihak yang benar,” jawabku tegas.

Para polisi itu tetap tidak mau menurunkan pistol mereka. Malah sepertinya kemarahan mereka makin tersulut dengan perkataanku barusan dan mereka mengacungkan pistolnya ke arahku. Oke, aku tidak takut. Mereka nggak mungkin menembakku. Setidaknya itulah pikiranku. Namun ternyata pikiranku salah. Para polisi itu melepaskan tembakannya ke arahku. Aku pun memejamkan mataku dan menungu saat-saat peluru itu menembus kulitku, tapi beberapa detik aku memejamkan maa, aku sama sekali tidak merasakan apa-apa. Dan saat aku membuka mataku, ada Marco yang melindungiku dari tembakan peluru itu. Akhirnya peluru itu pun menembus kulitnya kearah jantungnya. Marco jatuh ke tanah dengan darah segar bercucuran dari dadanya. Tidak, ini tidak mungkin terjadi. Aku berusaha melindunginya, namun kenapa dia rela mengorbankan dirinya untuk melindungiku? Nggak!!! Bukan seperti ini yang aku mau. Bahkan Marco pun belum sempat menepati janjinya untuk membalas kebaikanku. Tanpa sadar airamata pun mulai menetes membasahi pipiku dan membasahi tubuh Marco yang terkapar bersimbah darah ditanah.

“Jangan nangis Pingkan. Aku nggak mau kamu nangis karena aku,” ucap Marco perlahan sambil meringis menahan sakitnya. “Maaf kalau aku nggak bisa menepati janjiku. Maaf Pingkan!”

Aku pun tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa memandanginya sambil terus menangis. Marco...aku ingin dia selalu disini bersamaku.

“Maaf...” ucap Marco lagi dengan suara lemah yang bahkan hampir nggak terdengar. Lalu dia pun langsung memejamkan matanya dan terkulai lemas. Inilah akhir dari segalanya. Sebuah tembakan terakhir yang mampu membuatku kehilangan orang yang kusayangi.

-THE END-

Comments